Saprahan Robo-Robo, Tradisi yang Merekatkan Kebersamaan Masyarakat Mempawah
![]() |
Tradisi makan Safar secara saprahan yang dilaksanakan warga Desa Kuala Secapah di Jalan Sejati yang sudah berlangsung secara turun menurun pada momen Robo-Robo. Foto Istimewa |
JURNAL GALAHERANG - Tradisi Robo-Robo di Kabupaten Mempawah selalu menjadi momen istimewa bagi masyarakat.
Di balik prosesi budaya ini, ada kebiasaan yang terus dijaga turun-temurun, yaitu pembacaan doa tolak bala dan makan bersama secara saprahan. Keduanya tidak hanya menjadi ritual, tetapi juga perekat kebersamaan warga.
Sebelum puncak acara Robo-Robo di hari Rabu terakhir bulan Safar, masyarakat melaksanakan makan saprahan atau makan bersama di luar rumah.
Tradisi ini tidak hanya digelar di lingkungan Keraton Mempawah, tetapi juga dilakukan serentak oleh warga di lingkungan tempat tinggal mereka masing-masing, perkantoran maupun sekolah.
Dalam suasana penuh keakraban, semua orang, baik penduduk asli maupun pendatang, tanpa memandang jabatan dan status sosial dipersilakan duduk berhadap-hadapan menikmati hidangan yang telah disiapkan.
Sejak pagi, suasana di desa-desa maupun perkotaan di Mempawah tampak hidup. Warga dari berbagai usia, mulai anak-anak hingga orang tua, keluar rumah membawa hidangan khas Melayu dan buah-buahan.
Tikar digelar di halaman rumah atau jalanan kecil, lalu mereka duduk berhadapan dengan tetangga, saling menyapa, berbagi cerita, dan tersenyum hangat.
Doa dipimpin oleh tokoh masyarakat atau orang yang dituakan. Dengan khidmat, warga bersama-sama memohon perlindungan kepada Allah SWT agar dijauhkan dari bala.
Baca juga : Mohammad Hafidz Adinugraha Resmi Dinobatkan sebagai Raja Mempawah XIV, Bupati Erlina Ucapkan Selamat
Usai doa, suasana berubah akrab dan penuh canda, ketika semua orang mulai menyantap hidangan secara bersama-sama dengan cara saprahan, tanpa sendok maupun garpu, cukup dengan tangan sebagai simbol kesederhanaan.
“Makan secara saprahan dan pembacaan doa ini sudah dilakukan sejak dulu oleh orang tua kami. Setiap Robo-Robo, kami selalu berkumpul seperti ini. Rasanya hangat, karena bisa makan bersama-sama dengan tetangga,” ungkap Ismail, warga Desa Kuala Secapah, Rabu, 20 Agustus 2025.
Setelah hidangan selesai disantap, tikar digulung, peralatan dibawa pulang, dan warga kembali ke rumah masing-masing. Namun, kehangatan dan rasa persaudaraan yang tercipta lewat makan Safar secara saprahan tetap melekat, menjadi pengikat kuat hubungan sosial di tengah masyarakat.
Penulis : Apri