Menuju Nol Kematian Akibat Dengue 2030, Kemenkes Dorong Transformasi Deteksi Dini dan Respons Iklim
![]() |
Petugas melakukan pengasapan (foging) Aedes Aegypti Penyebab DBD. Foto Apri |
JURNAL GALAHERANG - Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan RI secara resmi membuka Pertemuan Nasional Program Pengendalian Dengue (P2DG) 2025, dengan mengusung target ambisius Indonesia Menuju Nol Kematian Akibat Dengue pada 2030, Kamis, 19 Juni 2025.
Pertemuan ini menekankan pentingnya kesiapsiagaan sistem kesehatan nasional dalam menghadapi krisis penyakit menular, termasuk demam berdarah dengue (DBD) dan arbovirosis lainnya.
Direktur Penyakit Menular Kemenkes RI, Ina Agustina Isturini, mengingatkan bahwa sistem kesehatan nasional perlu sigap, bahkan sebelum krisis terjadi.
"Kadang kita baru bertindak kalau musuh sudah di depan mata. Tapi seharusnya justru sekarang kita anggap sudah kepepet karena ancaman itu nyata dan sudah ada di depan kita," ujarnya.
Berdasarkan data ASEAN Dengue Summit 2024, Indonesia menyumbang 66 persen kematian akibat dengue di Asia, sekaligus menjadi negara dengan jumlah kasus tertinggi di kawasan ASEAN.
Sepanjang 2024, tercatat lebih dari 257.000 kasus DBD dan 1.400 kematian. Data ini diperkuat laporan WHO yang menyebut sebagian besar kematian dengue di Asia berasal dari Indonesia.
Anggota Tim Kerja Arbovirosis Kemenkes RI, Fadjar S.M. Silalahi menegaskan, hingga semester pertama 2025, Indonesia mencatat 67.000 kasus DBD dan 297 kematian, dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 0,4 per 100.000 penduduk. Meski masih di bawah indikator kinerja utama (IKP) nasional, angka tersebut tetap menjadi alarm peringatan dini.
Menurutnya, penanganan dengue bukan sekadar isu medis, melainkan masalah sistemik. "Masyarakat belum paham gejala, layanan primer belum siap, rujukan terlambat, semua ini berkontribusi," katanya.
Sebagai solusi, Kemenkes mengedepankan transformasi sistem dan teknologi melalui dua inovasi utama:
1. SMILE (Sistem Monitoring Inventory Logistik Elektronik): platform digital untuk memantau distribusi vaksin dan logistik kesehatan secara real-time.
2. GRID (Gerakan Respons Integratif Dengue): sistem integratif berbasis data untuk deteksi dini, surveilans, dan respons cepat, seperti telah diterapkan di Kabupaten Tangerang.
“Dengan SMILE, distribusi vaksin dan logistik bisa dipantau secara akurat. Dengan GRID, kita lihat daerah bisa bergerak cepat karena data dan kolaborasi lintas sektor berjalan,” jelas Fadjar.
Perubahan iklim juga menjadi faktor utama melonjaknya kasus dengue. Menurut Ina, pola peningkatan kasus yang sebelumnya muncul setiap 10 tahun kini terjadi setiap 3 tahun, dipengaruhi fenomena El Nino–La Nina. BMKG mencatat lonjakan kasus justru terjadi saat suhu berada dalam kondisi transisi, bukan saat ekstrem.
"Bukan saat suhu ekstrem panas atau dingin, tapi saat suhu mulai turun. Itu fase yang sangat cocok untuk nyamuk bertelur dan menetas lebih cepat," jelas Ina.
Tren tahunan menunjukkan bahwa peningkatan suhu, kelembaban, dan pola curah hujan mempercepat siklus hidup nyamuk Aedes aegypti serta memperluas wilayah penyebarannya.
Penyebaran dengue kini tak lagi musiman, bahkan meningkat pada masa mudik dan libur sekolah, terutama di wilayah padat dan urban.
“Korban kini juga dari usia produktif, bahkan remaja 19 tahun bisa meninggal dalam tiga hari. Ini alarm bagi kita semua,” tegas Fadjar.
Secara global, Indonesia kini telah resmi beralih dari kawasan WHO South-East Asia Regional Office (SEARO) ke Western Pacific Regional Office (WPRO).
Kemenkes berkomitmen memperkuat pelaporan data agar lebih transparan dan akurat. “Selama ini data kita underreported. Sekarang kita pastikan data Indonesia masuk dan dunia tahu tantangan kita sebenarnya,” pungkas Fadjar.
Lebih jauh, Kemenkes mendorong penguatan deteksi dini, pelaporan real-time, serta penyesuaian program pengendalian yang adaptif terhadap dinamika iklim, guna menekan laju kematian dan mencapai target ambisius 2030.***